Rabu, 07 Mei 2014

KONDISI PEREMPUAN PENYANDANG DISABILITAS BERHADAPAN DENGAN SOSIAL BUDAYA DAN HUKUM

Data yang dikeluarkan oleh Gerakan Perempuan Aceh, ada sekitar 1060 kasus sepanjang Tahun 2013. Dari fenomena ini bahwa kekerasan amat rentan terjadi pada perempuan dan anak karena sudah terkontruksi oleh budaya patriarki dan keterbatasan akses, terutama akses ekonomi. Hal tersebut menjadikan perempuan tidak memiliki posisi tawar sehingga rentan menjadi korban kekerasan.

Di dalam masyarakat, bisa ditemukan satu kelompok perempuan dan anak yang memiliki kerentanan lebih tinggi terhadap kekerasan. Mereka adalah perempuan dan anak penyandang disabilitas. Keterbatasan yang dimiliki perempuan dan anak penyandang disabilitas berdampak besar pada aksesibilitas mereka di banyak hal. Hal itulah yang menjadi pencetus terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak penyandang disabilitas.

Kesimpulannya bahwa perempuan dan anak perempuan penyandang disabilitas menghadapi spektrum yang lebih berat atau sama dari pelanggaran hak asasi manusia perempuan yang tidak disablitas. Perempuan penyandang disabilitas kerap menjadi korban kekerasan. Ditambah lagi isolasi sosial dan ketergantungan memperbesar pelanggaran-pelanggaran dan konsekuensinya pada perempuan penyandang disabilitas. Perempuan penyandang disabilitas cenderung memiliki keberhasilan yang lebih rendah dalam dunia pendidikan, keuangan, profesional, dan sosial dari perempuan secara umum dan laki-laki penyandang disabilitas.

Bentuk kekerasan itu bisa berasal dari pasangan hidup atau suaminya, keluarga, atau pengasuh. Hampir satu dari dua perempuan penyandang disabilitas di dunia akan mendapat kekerasan di dalam hidup mereka. Pelaku kekerasan biasanya memiliki keunggulan fisik dari korban. Mereka biasanya orang yang merawat korban sehari-hari. Misalnya banyak kejadian kursi roda perempuan penyandang disabilitas digeser ke tempat yang jauh pada saat dia hendak duduk, atau alat bantu dengar yang dilepas dan dilempar ke sisi lain. Hal itu dilakukan agar perempuan dengan disabilitas tidak dapat berkomunikasi dan jauh dari akses.

Potret Kekerasan Perempuan dan Anak Penyandang Disabilitas
Kekerasan terhadap Penyandang Disabilitas di Indonesia saat ini mulai menjadi perhatian sejak munculnya berbagai temuan kasus kekerasan yang menimpa penyandang disabilitas secara umum ataupun secara spesifik terhadap perempuan dan anak penyandang disabilitas, berdasar laporan kasus organisasi penyandang disabilitas atau berita dari media massa. Jenis kekerasan yang dialami perempuan dan anak penyandang disabilitas umumnya bersifat domestik dalam lingkungan rumahtangga, keluarga, lingkungan social sampai kepada kekerasan yang bersifat structural dari negara. Kekerasan struktural dari negara terjadi ketika hak dasar serta hak atas tubuh tidak dihormati oleh negara ataupun negara gagal memberikan pelayanan dan pelindungan atau mengabaikan kasus kekerasan yang terjadi pada kaum penyandang disabilitas.

Di Indonesia telah disyahkan UU No. 19 tahun 2011 tentang Pengesahan Kovensi Hak Penyandang Disabilitas yang menyatakan bahwa Negara-negara Pihak mengakui bahwa perempuan dan anak-anak perempuan penyandang cacat menjadi subyek diskriminasi berganda dan oleh karenanya harus mengambil langkah-langkah untuk menjamin penikmatan
semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental mereka secara penuh dan setara. Dalam Konvensi Hak penyandang Disabilitas Pasal 16 (1) terdapat jaminan dan perlindungan bagi penyandang disabilitas untuk mendapat Kebebasan dari eksploitasi, kekerasan, dan penganiayaan “Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah legislatif, administratif, yudisial, atau lainnya untuk melindungi orang-orang penyandang cacat dari segala bentuk eksploitasi, kekerasan, dan penganiayaan, termasuk aspek berbasis gender, baik di dalam maupun di luar rumah”.

Tetapi secara realitas, negara belum dapat memenuhi kewajibannya dalam menanggani kasus
kekerasan terhadap perempuan dan anak penyandang disabilitas dan secara otomatis melindungi hak-hak mereka. Ini dikarenakan oleh berbagai faktor sebagai berikut:

1. Stigma negatif
Stigma negatif terhadap Penyandang disabilitas yang masih ada di masyarakat umum dan keluarga saat ini masih dianggap sebagai awal kekerasan dengan berbagai modelnya yaitu kekerasan seksual, ekonomi, fisik, psikologis, religi yang memberikan penguatan bahwa tidak ada penghormatan hak atas tubuh, pemikiran serta kepercayaan pada seorang Penyandang disabilitas. Perempuan penyandang disabilitas sampai saat ini masih dibedakan dengan perempuan lain yang bukan penyandang disabilitas, bahkan dengan laki-laki penyandang disabilitas. Stigma yang masih melekat kepada perempuan penyandang disabilitas sampai saat ini adalah
·         tidak mampu untuk hidup mandiri dan berkembang
·         tidak mampu untuk mencari nafkah dan berproduksi
·         tidak mampu untuk untuk mengurusi keluarga dan rumah tangganya (mengurus suami
dan anak-anaknya), sehingga harus dibantu keluarga atau orang lain
·         kalau melahirkan harus dengan operasi cesar yang membutuhkan biaya banyak
·         tidak cakap dalam bersosialisasi dan beraktifitas bersama komunitas perempuan lain
(lamban, kesulitan mobilitas, hambatan komunikasi)
·         akan melahirkan keturunan/ anak cacat

Stigma tersebut menjadi awal dari kekerasan yang terjadi dan akan berlanjut serta berulang kepada perempuan penyandang disabilitas, terjadi perlakuan yang tidak adil dan tidak diharapkan oleh mereka, diantaranya:
·         pembatasan untuk bersekolah oleh keluarga, termasuk tidak diprioritaskan untuk
mendapat akses pendidikan tinggi, sehingga banyak perempuan penyandang disabilitas
tidak mempunyai pendidikan formal yang cukup (sebagian besar perempuan penyandang tidak bisa baca tulis)
·         pembatasan akses atas pekerjaan baik formal ataupun informal
·         intervensi orang tua dalam kehidupan keluarga pasangan penyandang disabilitas
·         perempuan penyandang disabilitas dilarang menikah oleh keluarganya
·         perempuan penyandang disabilitas tidak boleh memelihara anaknya bahkan anaknya
·         diambil oleh orang tua, mertua atau saudara
·         pasangan penyandang disabilitas tidak berani mempunyai anak karena takut operasi cesar yang mahal
Stigma yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat umum secara tidak langsung akan mempengaruhi mainstream aparat pemerintah dan aparat penegak hukum yang hidup dan tumbuh besar dalam masyarakat dengan kondisi yang belum berpihak kepada perempuan penyandang disabilitas.

2. Praktek sosial dan budaya yang masih melanggengkan kekerasan terhadap
perempuan penyandang disabilitas
Kondisi Sosial, kepercayaan dan kearifan masyarakat lokal seringkali menjadi pelanggeng kekerasan terhadap perempuan dan perempuan penyandang disabilitas. Budaya local di beberapa daerah yang masih menomorduakan perempuan dan tidak memberikan tempat bagi perempuan penyandang disabilitas dalam ruang public merupakan sumber pencetus terjadinya kekerasan. Pelanggengan atas kekerasan terjadi pada saat masyarakat dan keluarga dengan alasan kearifan local dan kepakatan bersama menghentikan kasus kekerasan terhadap perempuan penyandang disabilitas di tingkat kepolisian. Kondisi ini akan terjadi dan bahkan lebih mungkin buruk pada perempuan penyandang disabilitas yang masih hidup dengan “budaya patriarkhi dan kenormalan” yang masih kental di beberapa wilayah Indonesia khususnya Aceh.

Beberapa contoh konkrit yang terungkap dalam  pengalaman pendampingan kasus selama ini memperlihatkan bahwa penghentian kasus kekerasan terhadap perempuan penyandang disabilitas adalah karena pihak keluarga korban ataupun pelaku yang meminta kasus dihentikan. Hal lain yang terjadi pemuka masyarakat dan aparat desa meminta kepolisian menghentikan kasus kekerasan (sexual ataupun fisik) karena sudah ada rembug kampung/ desa yang memutuskan untuk penghentian kasus, dengan alasan kalau kasus diteruskan maka akan meresahkan masyarakat. Hal itu terjadi karena dalam pranata sosial masyarakat setempat perempuan penyandang disabilitas masih dipandang rendah baik dibanding dengan pelaku yang sebagian merupakan tokoh atau orang terpandang di daerah tersebut. Bahkan pada saat terjadi perkosaan sampai dengan kehamilan maka yang disalahkan adalah perempuan penyandang disabilitas serta keluarganya yang disalahkan, bahkan diminta bersyukur karena ada yang mau dengan penyandang disabilitas. Kondisi ini yang sangat memberatkan kasus akan diproses lebih lanjut terutama melalui jalur hukum sampai pengadilan.

3. Kapasitas aparat penegak hukum yang belum memadai beserta perangkat hukum
yang tidak aksesibel
Negara yang telah melakukan ratifikasi Konvensi Hak Penyandang Disabilitas belum memberikan penghormatan ataupun perlindungan secara cukup, terlihat dengan kasus-kasus kekerasan terhadap WwD’s ataupun PwD’s yang tidak terselesaikan bahkan tidak ditangani karena aturan hukum di Indonesia beserta perangkatnya yang belum mempunyai keberpihakan
kepada PwDs. Sebagai suatu contoh konkrit bahwa KUHP dan KUHAP yang merupakan UU pokok dalam penanganan kasus pidana belum memberikan ruang kepada penyandang disabilitas yang mengalami hambatan intelektual, fisik, ataupun komunikasi. Secara konkrit dapat dinyatakan persoalan yang timbul adalah karena kurang kemampuan dan pengetahuan dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan penyandang disabilitas. Banyak kasus-
kasus kekerasan secara resmi tidak melalui jalur hukum. Kekerasan terhadap perempuan penyandang disabilitas secara khusus dan penyandang disabilitas pada umumnya seringkali diabaikan oleh keluarga ataupun masyarakat, bahkan penanganan atas kasus dikesampingkan oleh aparat penegak hukum. Kondisi ini disebabkan karena ketidak pahaman individu, keluarga, masyarakat umum dan aparat penegak hukum atas kekerasan yang dialami/ terjadi. Lebih jauh mereka tidak memahami penanganan yang harus dilakukan kepada perempuan penyandang disabilitas yang menjadi korban kekerasan.

Beberapa hambatan yang ada adalah sebagai berikut :
a) peraturan perundang-undangan dan mekanisme penanganan perkara yang belum
berpihak
Kekerasan seksual (pelecehan ataupun persetubuhan) yang menimpa perempuan penyandang disabilitas mental seringkali tidak bisa dilanjutkan ataupun diproses karena usia kalender mereka lebih dari 18 tahun. KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) membatasi suatu kasus persetubuhan atau pelecehan menjadi delik aduan pada saat usia korban lebih dari 18 tahun, tidak lagi menjadi delik aduan. Padahal seorang perempuan penyandang disabilitas mempunyai perbedaan antara usia kalender dan usia mental. karena mereka tidak bisa mencapai usia mental lebih dari 18 tahun, dan juga karena tidak pahaman mereka atas situasi yang menimpa mereka serta hambatan komunikasi mereka hampir tidak mungkin untuk mengadukan kekerasan yang terjadi pada mereka pada polisi.

KUHP pasal 298 tentang ketidakberdayaan belum memberikan ruang kepada disabilitas sebagai bagian dari ketidakberdayaan disamping pingsan, sakit dsb. KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) belum mempunyai ketentuan dan prosedur penanganan kasus pada saat penyandang disabilitas berhadapan dengan hokum baik sebagai pelaku ataupun korban. Sehingga SOP (Standar Operasional Prosedur) penanganan kasus di tingkat kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan belum mengakomodasi kebutuhan khusus penyandang disabilitas dihadapan hukum, misalkan penerjemah bahasa isyarat, penerjemah bagi penyandang disabilitas mental dll. Beberapa UU yang belum berpihak bahkan diskriminatif, misalkan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dalam pasal-pasalnya masih memperbolehkan suami untuk menceraikan istri ataupun menikah lagi kalau istri tersebut mengalami cacat tetap.
b) Ketrampilan aparat penegak hukum untuk menangani kasus penyandang disabilitas
yang mempunyai kebutuhan khusus
Aparat penegak hukum seringkali menghentikan kasus, menolak kasus atau juga melakukan pembiaran atas kasus kekerasan terhadap penyandang disabilitas karena beberapa hal :
·         Mereka belum paham mengenai kecacatan beserta kebutuhan pada masing-masing kecacatan
·     APH sudah mengetahui mengenai kecacatan tetapi belum ada ketrampilan untuk melakukan penanganan terhadap perempuan dengan disabilitas mental, netra, rungu,wicara ataupun dobel disabilitas.
·         APH yang belum menganggap perempuan penyandang disabilitas sebagai warganegara yang mempunyai yang sama dihadapan hukum, sehingga melakukan pengabaian atas kasus yang masuk.
c) Pemerintah belum memberikan dukungan berupa anggaran dan fasilitas yang cukup
untuk kebutuhan korban.
Hambatan yang dihadapi stakeholder dalam penanganan kekerasan terhadap perempuan penyandang disabilitas didaerah terlihat dari beberapa hal dibawah ini :
·         Fasilitas shelter atau rumah aman belum aksesibel dan bahkan belum dapat menerima penyandang disabilitas untuk mendapat layanan .
·         Belum ada anggaran dari pemerintah untuk melakukan tes DNA serta penerjemah dalam penyelesaian kasus kekerasan
·         Tidak ada program dan kebijakan dari pemerintah pusat & daerah untuk memberikan ketrampilan dan fasilitas yang memadai bagi aparat pemerintah beserta SKPD yang menangani persoalan perempuan dan anak serta kesejahteraan sosial terkait dengan penanganan korban kekerasan.
4. Lemahnya kapasitas perempuan penyandang disabilitas dan komunitas perempuan
penyandang disabilitas untuk melakukan perlawanan terhadap kekerasan
Kurangnya informasi, penyadaran dan penguatan terhadap individu perempuan penyandang disabilitas berpotensi menimbulkan, dan berlanjutnya kekerasan terhadap mereka. Lemahnya kapasitas komunitas penyandang disabilitas perempuan juga menyebabkan minimnya daya dukung yang dibutuhkan korban untuk keluar dari kekerasan. Padahal seorang perempuan penyandang disabilitas yang menjadi korban kekerasan sangat membutuhkan dukungan peer group secara signifikan. Sampai saat ini belum terlihat program yang jelas dari berbagai pihak untuk meminimalisir kekerasan berbasis disabilitas dan gender. Sehingga mereka belum dapat melakukan upaya perlawanan atas kekerasan yang menimpa diri serta komunitas mereka.
Bentuk kekerasan serta sikap mereka terlihat dalam diagram dan juga penjelasan dibawahnya. 3

Berdasarkan beberapa temuan dalam penelitian ataupun pendampingan yang dilakukan oleh Berbagai lembaga advokasi disabilitas,  yang menguatkan bahwa perempuan penyandang disabilitas sebagai korban kekerasan sangat lemah dihadapan hukum di Indonesia. Sehingga membutuhkan dukungan dari berbagai pihak dan penguatan kapasitas di tingkat individu serta

Komunitas perempuan penyandang disabilitas, diantaranya melalui :
·         Advokasi perubahan per UU an yang tidak berpihak & diskriminatif terhadap perempuan penyandang disabilitas diantaranya KUHP, KUHAP ataupun UU Perkawinan beserta peraturan perundangan dan mekanisme dibawahnya.

·         Mendorong dan terlibat dalam peningkatan kapasitas APH dan aparat pemerintah untuk melakukan penegakan hukum yan sensitif atas kebutuhan khusus perempuan penyandang disabilitas. Dalam teknik penanganan, penyusunan mekanisme, kebijakan program serta anggaran yang memberikan pemenuhan dan perlindungan hak penyandang disabilitas.

·         Melakukan peningkatan kapasitas individu dan komunitas atas issue disabilitas, kesetaraan hak dihadapan hukum beberapa hal teknis seperti penemuan kasus, penanganan sementara, pendampingan, serta advokasi terhadap pemerintah dan APH.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar