Data yang dikeluarkan oleh
Gerakan Perempuan Aceh, ada sekitar 1060 kasus sepanjang Tahun 2013. Dari
fenomena ini bahwa kekerasan amat rentan terjadi pada perempuan dan anak karena
sudah terkontruksi oleh budaya patriarki dan keterbatasan akses, terutama akses
ekonomi. Hal tersebut menjadikan perempuan tidak memiliki posisi tawar sehingga
rentan menjadi korban kekerasan.
Di dalam masyarakat, bisa
ditemukan satu kelompok perempuan dan anak yang memiliki kerentanan lebih
tinggi terhadap kekerasan. Mereka adalah perempuan dan anak penyandang
disabilitas. Keterbatasan yang dimiliki perempuan dan anak penyandang
disabilitas berdampak besar pada aksesibilitas mereka di banyak hal. Hal itulah
yang menjadi pencetus terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak
penyandang disabilitas.
Kesimpulannya bahwa
perempuan dan anak perempuan penyandang disabilitas menghadapi spektrum yang
lebih berat atau sama dari pelanggaran hak asasi manusia perempuan yang tidak
disablitas. Perempuan penyandang disabilitas kerap menjadi korban kekerasan.
Ditambah lagi isolasi sosial dan ketergantungan memperbesar
pelanggaran-pelanggaran dan konsekuensinya pada perempuan penyandang
disabilitas. Perempuan penyandang disabilitas cenderung memiliki keberhasilan
yang lebih rendah dalam dunia pendidikan, keuangan, profesional, dan sosial
dari perempuan secara umum dan laki-laki penyandang disabilitas.
Bentuk kekerasan itu bisa berasal
dari pasangan hidup atau suaminya, keluarga, atau pengasuh. Hampir satu dari
dua perempuan penyandang disabilitas di dunia akan mendapat kekerasan di dalam
hidup mereka. Pelaku kekerasan biasanya memiliki keunggulan fisik dari korban.
Mereka biasanya orang yang merawat korban sehari-hari. Misalnya banyak kejadian
kursi roda perempuan penyandang disabilitas digeser ke tempat yang jauh pada
saat dia hendak duduk, atau alat bantu dengar yang dilepas dan dilempar ke sisi
lain. Hal itu dilakukan agar perempuan dengan disabilitas tidak dapat
berkomunikasi dan jauh dari akses.
Potret Kekerasan Perempuan dan Anak Penyandang
Disabilitas
Kekerasan
terhadap Penyandang Disabilitas di Indonesia saat ini mulai menjadi perhatian
sejak munculnya berbagai temuan kasus kekerasan yang menimpa penyandang
disabilitas secara umum ataupun secara spesifik terhadap perempuan dan anak
penyandang disabilitas, berdasar laporan kasus organisasi penyandang
disabilitas atau berita dari media massa. Jenis kekerasan yang dialami perempuan
dan anak penyandang disabilitas umumnya bersifat domestik dalam lingkungan
rumahtangga, keluarga, lingkungan social sampai kepada kekerasan yang bersifat structural
dari negara. Kekerasan struktural dari negara terjadi ketika hak dasar serta
hak atas tubuh tidak dihormati oleh negara ataupun negara gagal memberikan
pelayanan dan pelindungan atau mengabaikan kasus kekerasan yang terjadi pada
kaum penyandang disabilitas.
Di
Indonesia telah disyahkan UU No. 19 tahun 2011 tentang Pengesahan Kovensi Hak Penyandang
Disabilitas yang menyatakan bahwa “Negara-negara
Pihak mengakui bahwa perempuan dan anak-anak perempuan penyandang cacat menjadi
subyek diskriminasi berganda dan oleh karenanya harus mengambil langkah-langkah
untuk menjamin penikmatan
semua
hak asasi manusia dan kebebasan fundamental mereka secara penuh dan setara. Dalam
Konvensi Hak penyandang Disabilitas Pasal 16 (1) terdapat jaminan dan
perlindungan bagi penyandang disabilitas untuk mendapat Kebebasan dari
eksploitasi, kekerasan, dan penganiayaan “Negara-negara Pihak harus
mengambil semua langkah legislatif, administratif, yudisial, atau lainnya untuk
melindungi orang-orang penyandang cacat dari segala bentuk eksploitasi,
kekerasan, dan penganiayaan, termasuk aspek berbasis gender, baik di dalam maupun
di luar rumah”.
Tetapi
secara realitas, negara belum dapat memenuhi kewajibannya dalam menanggani
kasus
kekerasan
terhadap perempuan dan anak penyandang disabilitas dan secara otomatis melindungi
hak-hak mereka. Ini dikarenakan oleh berbagai faktor sebagai berikut:
1. Stigma
negatif
Stigma negatif
terhadap Penyandang disabilitas yang masih ada di masyarakat umum dan keluarga
saat ini masih dianggap sebagai awal kekerasan dengan berbagai modelnya yaitu kekerasan
seksual, ekonomi, fisik, psikologis, religi yang memberikan penguatan bahwa
tidak ada penghormatan hak atas tubuh, pemikiran serta kepercayaan pada seorang
Penyandang disabilitas. Perempuan penyandang disabilitas sampai saat ini masih
dibedakan dengan perempuan lain yang bukan penyandang disabilitas, bahkan
dengan laki-laki penyandang disabilitas. Stigma yang masih melekat kepada
perempuan penyandang disabilitas sampai saat ini adalah
·
tidak mampu untuk hidup mandiri dan
berkembang
·
tidak mampu untuk mencari nafkah dan
berproduksi
·
tidak mampu untuk untuk mengurusi
keluarga dan rumah tangganya (mengurus suami
dan anak-anaknya), sehingga harus dibantu keluarga atau
orang lain
·
kalau melahirkan harus dengan operasi
cesar yang membutuhkan biaya banyak
·
tidak cakap dalam bersosialisasi dan beraktifitas
bersama komunitas perempuan lain
(lamban, kesulitan mobilitas, hambatan komunikasi)
·
akan melahirkan keturunan/ anak cacat
Stigma
tersebut menjadi awal dari kekerasan yang terjadi dan akan berlanjut serta
berulang kepada perempuan penyandang disabilitas, terjadi perlakuan yang tidak
adil dan tidak diharapkan oleh mereka, diantaranya:
·
pembatasan untuk bersekolah oleh
keluarga, termasuk tidak diprioritaskan untuk
mendapat akses pendidikan tinggi, sehingga banyak perempuan
penyandang disabilitas
tidak mempunyai pendidikan formal yang cukup (sebagian besar
perempuan penyandang tidak bisa baca tulis)
·
pembatasan akses atas pekerjaan baik
formal ataupun informal
·
intervensi orang tua dalam kehidupan
keluarga pasangan penyandang disabilitas
·
perempuan penyandang disabilitas
dilarang menikah oleh keluarganya
·
perempuan penyandang disabilitas tidak
boleh memelihara anaknya bahkan anaknya
·
diambil oleh orang tua, mertua atau
saudara
·
pasangan penyandang disabilitas tidak
berani mempunyai anak karena takut operasi cesar yang mahal
Stigma
yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat umum secara tidak langsung akan mempengaruhi
mainstream aparat pemerintah dan aparat penegak hukum yang hidup dan tumbuh
besar dalam masyarakat dengan kondisi yang belum berpihak kepada perempuan penyandang
disabilitas.
2.
Praktek sosial dan budaya yang masih melanggengkan kekerasan terhadap
perempuan
penyandang disabilitas
Kondisi
Sosial, kepercayaan dan kearifan masyarakat lokal seringkali menjadi pelanggeng
kekerasan terhadap perempuan dan perempuan penyandang disabilitas. Budaya local
di beberapa daerah yang masih menomorduakan perempuan dan tidak memberikan tempat
bagi perempuan penyandang disabilitas dalam ruang public merupakan sumber pencetus
terjadinya kekerasan. Pelanggengan atas kekerasan terjadi pada saat masyarakat
dan keluarga dengan alasan kearifan local dan kepakatan bersama menghentikan
kasus kekerasan terhadap perempuan penyandang disabilitas di tingkat
kepolisian. Kondisi ini akan terjadi dan bahkan lebih mungkin buruk pada
perempuan penyandang disabilitas yang masih hidup dengan “budaya patriarkhi dan
kenormalan” yang masih kental di beberapa wilayah Indonesia khususnya Aceh.
Beberapa
contoh konkrit yang terungkap dalam
pengalaman pendampingan kasus selama ini memperlihatkan bahwa
penghentian kasus kekerasan terhadap perempuan penyandang disabilitas adalah
karena pihak keluarga korban ataupun pelaku yang meminta kasus dihentikan. Hal
lain yang terjadi pemuka masyarakat dan aparat desa meminta kepolisian
menghentikan kasus kekerasan (sexual ataupun fisik) karena sudah ada rembug kampung/
desa yang memutuskan untuk penghentian kasus, dengan alasan kalau kasus diteruskan
maka akan meresahkan masyarakat. Hal itu terjadi karena dalam pranata sosial masyarakat
setempat perempuan penyandang disabilitas masih dipandang rendah baik dibanding
dengan pelaku yang sebagian merupakan tokoh atau orang terpandang di daerah tersebut.
Bahkan pada saat terjadi perkosaan sampai dengan kehamilan maka yang disalahkan
adalah perempuan penyandang disabilitas serta keluarganya yang disalahkan,
bahkan diminta bersyukur karena ada yang mau dengan penyandang disabilitas.
Kondisi ini yang sangat memberatkan kasus akan diproses lebih lanjut terutama
melalui jalur hukum sampai pengadilan.
3.
Kapasitas aparat penegak hukum yang belum memadai beserta perangkat hukum
yang
tidak aksesibel
Negara
yang telah melakukan ratifikasi Konvensi Hak Penyandang Disabilitas belum memberikan
penghormatan ataupun perlindungan secara cukup, terlihat dengan kasus-kasus kekerasan
terhadap WwD’s ataupun PwD’s yang tidak terselesaikan bahkan tidak ditangani karena
aturan hukum di Indonesia beserta perangkatnya yang belum mempunyai
keberpihakan
kepada
PwDs. Sebagai suatu contoh konkrit bahwa KUHP dan KUHAP yang merupakan UU pokok
dalam penanganan kasus pidana belum memberikan ruang kepada penyandang disabilitas
yang mengalami hambatan intelektual, fisik, ataupun komunikasi. Secara konkrit
dapat dinyatakan persoalan yang timbul adalah karena kurang kemampuan dan pengetahuan
dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan penyandang disabilitas.
Banyak kasus-
kasus
kekerasan secara resmi tidak melalui jalur hukum. Kekerasan terhadap perempuan
penyandang disabilitas secara khusus dan penyandang disabilitas pada umumnya
seringkali diabaikan oleh keluarga ataupun masyarakat, bahkan penanganan atas
kasus dikesampingkan oleh aparat penegak hukum. Kondisi ini disebabkan karena
ketidak pahaman individu, keluarga, masyarakat umum dan aparat penegak hukum
atas kekerasan yang dialami/ terjadi. Lebih jauh mereka tidak memahami
penanganan yang harus dilakukan kepada perempuan penyandang disabilitas yang
menjadi korban kekerasan.
Beberapa
hambatan yang ada adalah sebagai berikut :
a)
peraturan perundang-undangan dan mekanisme penanganan perkara yang belum
berpihak
Kekerasan
seksual (pelecehan ataupun persetubuhan) yang menimpa perempuan penyandang
disabilitas mental seringkali tidak bisa dilanjutkan ataupun diproses karena usia
kalender mereka lebih dari 18 tahun. KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) membatasi
suatu kasus persetubuhan atau pelecehan menjadi delik aduan pada saat usia korban
lebih dari 18 tahun, tidak lagi menjadi delik aduan. Padahal seorang perempuan penyandang
disabilitas mempunyai perbedaan antara usia kalender dan usia mental. karena
mereka tidak bisa mencapai usia mental lebih dari 18 tahun, dan juga karena tidak
pahaman mereka atas situasi yang menimpa mereka serta hambatan komunikasi mereka
hampir tidak mungkin untuk mengadukan kekerasan yang terjadi pada mereka pada
polisi.
KUHP
pasal 298 tentang ketidakberdayaan belum memberikan ruang kepada disabilitas sebagai
bagian dari ketidakberdayaan disamping pingsan, sakit dsb. KUHAP (Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana) belum mempunyai ketentuan dan prosedur
penanganan kasus pada saat penyandang disabilitas berhadapan dengan hokum baik
sebagai pelaku ataupun korban. Sehingga SOP (Standar Operasional Prosedur) penanganan
kasus di tingkat kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan belum mengakomodasi
kebutuhan khusus penyandang disabilitas dihadapan hukum, misalkan penerjemah
bahasa isyarat, penerjemah bagi penyandang disabilitas mental dll. Beberapa UU
yang belum berpihak bahkan diskriminatif, misalkan UU No. 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan, yang dalam pasal-pasalnya masih memperbolehkan suami untuk
menceraikan istri ataupun menikah lagi kalau istri tersebut mengalami cacat
tetap.
b)
Ketrampilan aparat penegak hukum untuk menangani kasus penyandang disabilitas
yang
mempunyai kebutuhan khusus
Aparat
penegak hukum seringkali menghentikan kasus, menolak kasus atau juga melakukan
pembiaran atas kasus kekerasan terhadap penyandang disabilitas karena beberapa
hal :
·
Mereka belum paham mengenai kecacatan
beserta kebutuhan pada masing-masing kecacatan
· APH sudah mengetahui mengenai kecacatan
tetapi belum ada ketrampilan untuk melakukan penanganan terhadap perempuan
dengan disabilitas mental, netra, rungu,wicara ataupun dobel disabilitas.
·
APH yang belum menganggap perempuan
penyandang disabilitas sebagai warganegara yang mempunyai yang sama dihadapan
hukum, sehingga melakukan pengabaian atas kasus yang masuk.
c)
Pemerintah belum memberikan dukungan berupa anggaran dan fasilitas yang cukup
untuk
kebutuhan korban.
Hambatan
yang dihadapi stakeholder dalam penanganan kekerasan terhadap perempuan penyandang
disabilitas didaerah terlihat dari beberapa hal dibawah ini :
·
Fasilitas shelter atau rumah aman belum
aksesibel dan bahkan belum dapat menerima penyandang disabilitas untuk mendapat
layanan .
·
Belum ada anggaran dari pemerintah
untuk melakukan tes DNA serta penerjemah dalam penyelesaian kasus kekerasan
·
Tidak ada program dan kebijakan dari
pemerintah pusat & daerah untuk memberikan ketrampilan dan fasilitas yang
memadai bagi aparat pemerintah beserta SKPD yang menangani persoalan perempuan
dan anak serta kesejahteraan sosial terkait dengan penanganan korban kekerasan.
4.
Lemahnya kapasitas perempuan penyandang disabilitas dan komunitas perempuan
penyandang
disabilitas untuk melakukan perlawanan terhadap kekerasan
Kurangnya
informasi, penyadaran dan penguatan terhadap individu perempuan penyandang disabilitas
berpotensi menimbulkan, dan berlanjutnya kekerasan terhadap mereka. Lemahnya kapasitas
komunitas penyandang disabilitas perempuan juga menyebabkan minimnya daya
dukung yang dibutuhkan korban untuk keluar dari kekerasan. Padahal seorang
perempuan penyandang disabilitas yang menjadi korban kekerasan sangat
membutuhkan dukungan peer group secara signifikan. Sampai saat ini belum
terlihat program yang jelas dari berbagai pihak untuk meminimalisir kekerasan
berbasis disabilitas dan gender. Sehingga mereka belum dapat melakukan upaya
perlawanan atas kekerasan yang menimpa diri serta komunitas mereka.
Bentuk
kekerasan serta sikap mereka terlihat dalam diagram dan juga penjelasan
dibawahnya. 3
Berdasarkan
beberapa temuan dalam penelitian ataupun pendampingan yang dilakukan oleh
Berbagai lembaga advokasi disabilitas, yang menguatkan bahwa perempuan penyandang disabilitas
sebagai korban kekerasan sangat lemah dihadapan hukum di Indonesia. Sehingga membutuhkan
dukungan dari berbagai pihak dan penguatan kapasitas di tingkat individu serta
Komunitas
perempuan penyandang disabilitas, diantaranya melalui :
·
Advokasi perubahan per UU an yang tidak
berpihak & diskriminatif terhadap perempuan penyandang disabilitas
diantaranya KUHP, KUHAP ataupun UU Perkawinan beserta peraturan perundangan dan
mekanisme dibawahnya.
·
Mendorong dan terlibat dalam
peningkatan kapasitas APH dan aparat pemerintah untuk melakukan penegakan hukum
yan sensitif atas kebutuhan khusus perempuan penyandang disabilitas. Dalam
teknik penanganan, penyusunan mekanisme, kebijakan program serta anggaran yang
memberikan pemenuhan dan perlindungan hak penyandang disabilitas.
·
Melakukan peningkatan kapasitas
individu dan komunitas atas issue disabilitas, kesetaraan hak dihadapan hukum
beberapa hal teknis seperti penemuan kasus, penanganan sementara, pendampingan,
serta advokasi terhadap pemerintah dan APH.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar