Jumat, 02 Mei 2014

Nasib Caleg Perempuan Aceh

DI tengah maraknya perbincangan tentang koalisi partai politik, dalam refleksi Hari Kartini tahun ini, menarik juga menyimak jejak langkah caleg perempuan di Aceh dalam Pemilu Legislatif 9 April 2014 lalu. Adakah keikutsertaan para caleg perempuan dalam bursa pemilihan hanya untuk memenuhi kuota? Padahal sebenarnya peran strategis dalam dunia perpolitikan masih merupakan supremasi kaum laki-laki?

Adakah mereka maju dengan kualifikasi yang dibutuhkan masyarakat yang diwakili, terutama kaum perempuan, atau mereka maju dengan membawa nama keluarga besar? Karena tidak jarang kita melihat, pada foto caleg perempuan ini ditabalkan nama keluarga mereka. Jika saja Raden Ajeng Kartini bisa menyaksikan kiprah para calon wakil rakyat ini, adakah perjuangan kaum perempuan menuju kursi terhormat tersebut merefleksikan terwujudnya apa yang beliau cita-citakan dalam perjuangan beliau puluhan tahun silam? Apa sebenarnya yang ingin diperjuangkan Kartini untuk kaum perempuan di Nusantara?
Sepanjang bersekolah sejak SD sampai SMA, kita diperkenalkan pada sejarah perjuangan Raden Ajeng Kartini sebagai pahlawan emansipasi perempuan di Nusantara. Sebagian kita juga membaca buku tentang beliau yang ditulis oleh Armijn Pane, Habis Gelap Terbitlah Terang. Dalam buku yang merupakan kumpulan surat beliau ini, kita dapat membaca kegelisahan beliau akan kondisi masyarakat pada waktu itu. Beliau menyaksikan adanya ketidakadilan masyarakat terhadap kaum perempuan, walaupun kehidupan beliau sendiri sebagai seorang priyayi tidak kekurangan apa-apa.

Terlahir pada 21 April 1904 dari ayah yang punya pandangan cukup bijak untuk jaman tersebut, Kartini kecil dapat mengenyam pendidikan dasar. Bagi perempuan kebanyakan waktu itu, pendidikan adalah mimpi yang takkan pernah sampai. Pendidikan yang dikecapnya inilah yang kemudian menjadikan Kartini sebagai insan yang tercerahkan. “The enligten,” demikian seorang filsuf, Ali Sariati, mendefinisikan cendekiawan yang punya keprihatinan terhadap ketidakadilan yang terjadi di lingkungannya, dan senantiasa menjadikan ilmu pengetahuan yang dimilikinya untuk menjembatani kepentingan rakyat kecil dengan penguasa.

Menuju cahaya sejati
Pendidikan juga mengantarkan Kartini pada sebuah perjalanan minazzulumati ilannur, yaitu sebuah perjalanan hamba Allah yang hijrah dari ketidaktahuan/kegelapan menuju cahaya sejati, menuju kebenaran hakiki. Kartini yakin, perjalanan panjang ini semestinya dimulai dengan pendidikan, yang justru menjadi barang langka untuk masyarakat biasa apalagi kaum perempuan pada waktu itu.

Dalam perjuangan mulia ini, Kartini meninggal dalam usia yang relatif cukup muda. Berdasarkan Keppres No.106/1964 yang ditanda-tangani oleh Presiden Soekarno, beliau ditetapkan sebagai seorang pahlawan di negeri kita, yaitu sebagai Pejuang Emansipasi bagi Kaum Perempuan.

Hari ini, 110 tahun setelah kepergian Kartini, cita-citanya terus hidup dan diperjuangkan oleh Kartini-Kartini lain di seluruh Nusantara. Perjuangan yang oleh masing-masing kita tentu saja bebas diterjemahkan dengan berbagai makna. Bahkan ada juga yang menyamakan perjuangan beliau dengan gerakan Women Suffrage di Eropa dan Amerika.

Di suatu kesempatan, kami membaca sebuah buku kecil “Tragedi Kartini” yang ditulis oleh Asma Karimah. Dari buku ini, ada perspektif berbeda yang disampaikan oleh Asma Karimah. Beliau mengemukakan bahwa perjuangan Kartini terdiri dari beberapa tahap. Tahap awal merupakan kegelisahan beliau terhadap kungkungan adat istiadat yang mengkhususkan pendidikan hanyalah hak para bangsawan. Menurut Kartini, hal ini tidak sepatutnya berlaku. Pendidikan niscayanya adalah hak setiap manusia, terlepas dari kedudukannya dalam masyarakat.

Tahap kedua adalah saat Kartini dekat dengan teman-temannya dari berbagai negara Eropa. Dari surat-surat beliau saat itu, terlihat jelas pengaruh pemikiran pergerakan perempuan di Eropa. Beliau mulai mempertanyakan tentang keislaman yang dianut sebagai agama warisan dan dijalankan sebagai rutinitas ritual. Sampai suatu ketika beliau bertemu seorang ulama bernama Kyai Haji Shaleh Darat yang menerjemahkan 10 juz pertama dalam Alquran untuk Kartini.

Sang Kyai saat itu berjanji, akan menghadiahi beliau 20 juz lanjutannya, namun sayang Kartini tidak berkesempatan membaca secara lengkap karena beliau meninggal dunia. Meski demikian, setelah membaca tafsir berbahasa Jawa 10 juz yang diberikan pertama itu, Kartini memasuki tahap ketiga dalam perjuangannya. Beliau tidak sekadar memperjuangkan ketidakadilan untuk kaum perempuan, melainkan juga mulai hijrah, mencari kebenaran hakikat dari Yang Maha Benar.

Beliau sangat terinspirasi dengan potongan ayat 257 dari Surah Al-Baqarah, yaitu kalimat minazzulumati ilannuur, yang beliau terjemahkan dalam satu suratnya dalam bahasa Belanda sebagai door dui tot licht. Oleh Armijn Pane, kalimat ini dijadikan tajuk buku Habis Gelap Terbitlah Terang. Sebuah karya yang tentu saja penerjemahannya berdasarkan estetika seni yang indah. Namun menurut cucu beliau, Prof Dr Haryati Soebadio, terjemahan yang lebih sesuai adalah Dari Gelap Menuju Cahaya. Inilah pandangan Kartini yang sebenarnya, menyikapi ketidakadilan yang terjadi di sekitarnya.

Kami terkesan dengan sosok BJ Habibie, mantan Presiden RI ketiga yang dalam sebuah tayangan di televisi mendukung caleg perempuan. Bukan sekadar kuota, namun lebih pada inti mengapa kehadiran caleg perempuan adalah sebuah keniscayaan. Siapa yang paling paham dan paling mengerti untuk mewakili kaumnya kalau bukan perempuan itu sendiri?

Caleg perempuan Aceh 
Di negara barat, hal ini justru dipertanyakan. Karena banyak caleg perempuan yang sudah terpilih menjadi senator di Amerika Serikat, misalnya, justru kemudian bertindak seperti lazimnya senator laki-lakinya. Mereka tidak lagi mengusung kepentingan kaumnya, namun ikut dalam arus politik yang sudah ada. Bagaimana dengan caleg perempuan Aceh pada pemilu legislatif tahun ini?

Kami sempat berdiskusi dengan beberapa caleg perempuan yang luar biasa. Mereka, dengan dana kampanye yang pas-pasan, lebih banyak melakukan kampanye dalam bentuk one-to-one. Di daerah pemilihan, mereka menemui calon pemilih dan berdiskusi dengan mereka. Kami pikir ini adalah cara yang lebih memberi wawasan bagi para pemilih. Ketika pemilih berkesempatan berinteraksi langsung dengan sosok yang akan mewakili kepentingan mereka di lembaga legislatif, mereka berkesempatan mengenal caleg yang akan mereka pilih.

Bagaimana dengan para caleg perempuan jika Anda kelak terpilih mewakili kepentingan orang yang memilih Anda? Yang pertama tentunya tetap menjadi caleg yang amanah. Seperti kata Wali Kota Surabaya Ibu Tri Rismaharani dalam sebuah acara televisi swasta Mata Najwa, bahwa jabatan publik adalah amanah dan tanggung jawab. Karena kelak jabatan ini akan kita pertanggungjawabkan di hadapan Allah, Hakim Yang Maha Adil.

Penuhilah setiap janji yang Anda cetuskan dalam kampanye dengan sekuat daya upaya Anda, karena janji adalah amanah yang harus ditepati. Janji tidak bisa ditawar atau dianggap lazim untuk dilupakan karena ianya adalah sekedar “janji politik”. Janganlah rakyat sekedar menjadi raket bak pisang, meunyoe ka leupah ta jeumeurang, keu peu lom raket paleh, seperti yang ditulis oleh Bapak Nab Bahani As (Serambi, 19/3/2014).

Selamat Hari Kartini, semoga sebagaimana beliau berproses menemukan kebenaran hakiki, perjalanan hidup kita juga akan bermuara pada kebenaran. Karena hanya kebenaran saja yang niscaya, terlepas ia berada di panggung politik yang penuh sandiwara atau kelak di dunia Tuhan.

* Dian Rubianty, SE.Ak, MPA., Fulbright Scholar, tinggal di Banda Aceh. Email: dian.rubianty@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar